Pemakzulan Presiden: Bukan Sekadar Isu Panas, tapi Proses Hukum Konstitusional!
Jakarta – Istilah pemakzulan memang sering banget jadi headline pas lagi ada krisis politik atau konflik kekuasaan. Tapi, di balik hiruk pikuk pembicaraan itu, ada prosedur hukum yang jelas dan ketat yang sudah diatur dalam konstitusi Indonesia, lho.
Presiden atau wakil presiden, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, memang bisa diberhentikan dari jabatannya. Tapi, ingat, jalan menuju pemakzulan ini tidak bisa diambil sembarangan atau cuma berdasarkan tekanan politik sesaat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sudah menetapkan mekanisme yang ketat dan berlapis untuk proses pemakzulan ini. Dimulai dari usulan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lalu pemeriksaan mendalam oleh Mahkamah Konstitusi (MK), hingga langkah akhir di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Proses ini dirancang khusus untuk menjaga stabilitas negara dan memastikan bahwa pemberhentian presiden atau wakil presiden hanya terjadi jika ada pelanggaran serius terhadap hukum atau ketentuan konstitusi. Jadi, ini bukan main-main, ya!
Penasaran gimana sih mekanisme rinci proses pemakzulan ini? Yuk, kita bedah satu per satu, seperti yang dirangkum dari Hukum Online dan berbagai sumber lainnya.
Mekanisme pemakzulan presiden atau perwakilan presiden menurut UUD 1945
• Sesuai Pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, usulan pemberhentian presiden atau duta presiden dapat diajukan oleh DPR terhadap MPR.
• DPR harus terlebih dahulu mengajukan permohonan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa kemudian memutuskan apakah presiden dan/atau duta presiden benar-benar melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, langkah pidana berat, atau perbuatan tercela atau tak lagi memenuhi kriteria sebagai kepala negara.
• Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, memiliki kewajiban untuk mengeluarkan putusan menghadapi pendapat yang mana disampaikan DPR tersebut.
• Adapun pengajuan dari DPR ke MK hanya sekali dapat dijalankan apabila disetujui oleh minimal dua pertiga dari anggota DPR yang digunakan hadir di sidang paripurna, dengan kriteria sidang yang dimaksud dihadiri oleh minimal dua pertiga dari total anggota DPR, sebagaimana dijelaskan di Pasal 7B ayat (3).
• Setelah menerima permintaan resmi dari DPR, MK mempunyai waktu maksimal 90 hari untuk meneliti, mengadili, kemudian memberikan putusan secara adil terkait pendapat DPR tersebut, sesuai ketentuan Pasal 7B ayat (4).
• Bila MK menyatakan bahwa presiden atau perwakilan presiden terbukti melanggar hukum, maka DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna guna meneruskan usulan pemberhentian terhadap MPR.
• MPR, setelahnya menerima usulan tersebut, wajib menyelenggarakan sidang untuk mengambil kebijakan di waktu paling lambat 30 hari, sebagaimana diatur pada Pasal 7B ayat (6).
• Keputusan pemakzulan hanya saja dapat diambil pada rapat paripurna MPR yang digunakan dihadiri oleh setidaknya tiga perempat dari total anggota, serta disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang dimaksud hadir.
• Sebelum langkah diambil, presiden atau perwakilan presiden yang digunakan bersangkutan diberi kesempatan menyampaikan pembelaan ke hadapan sidang MPR, sebagaimana tercantum pada Pasal 7B ayat (7).
Pemakzulan Presiden: Peran DPR, MK, dan MPR
Dari penjelasan mekanisme yang ada, bisa kita simpulkan bahwa pemberhentian presiden dan wakil presiden itu memang ada di tangan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Tapi, jalan menuju ke sana enggak bisa instan, lho. Prosesnya melibatkan lembaga-lembaga penting lainnya, yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MK (Mahkamah Konstitusi).
Begini pembagian perannya:
- DPR bertindak sebagai pengusul. Mereka yang pertama kali akan mengusulkan jika ada dugaan pelanggaran serius.
- MK berperan sebagai lembaga penilai dugaan pelanggaran. MK yang akan memeriksa dan memutuskan apakah dugaan pelanggaran itu terbukti secara hukum.
- MPR adalah pengambil tindakan akhir. Setelah ada keputusan dari MK, MPR yang akan memutuskan apakah presiden atau wakil presiden benar-benar diberhentikan.
Prosedur berlapis ini jelas menunjukkan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan sembarangan. Ini adalah proses yang harus melalui tahapan hukum dan konstitusional yang ketat, demi menjaga stabilitas dan keadilan negara kita.
Artikel ini disadur dari Begini mekanisme pemakzulan presiden atau wakil presiden di UUD 1945